Monday, August 16, 2004

Mario Wuysang

Bagaimana kamu bisa selalu tampil cemerlang di setiap pertandingan? Itu pertanyaan seorang reporter TV kepada Mario Wuysang – top scorer HP Aspac, usai pertandingan melawan CLS Good Day di final four IBL semalam di Malang. Wuysang point guard nomor punggung 10, menjawab dalam bahasa Inggris,”You have to play with your heart.” (Wuysang orang Indonesia, bapak-ibunya ber KTP Jakarta, tapi dia lahir-besar di Amerika, lulusan Northland Pioneer College Arizona, Indiana. Jadi dia lebih fasih American English). Wuysang yang plontos itu lalu melanjutkan,”Sebagus apapun teknik permainan yang kamu kuasai, kalau kamu main nggak pake hati, percuma. You’ll get nothing.”

Tadi malam, Wuysang menyumbang 12 dari 56 poin Aspac. Wuysang memang hebat. Kata pelatihnya Koh Kim Hong, Mario is an intelligent "Court General" equiped with crafty ball handling, excellent court vision, clutch shooting and a cat quick first step. Ini beberapa pencapaiannya, tahun 99 ranking 5 versi NJCAA, tahun 2000-2003 bergabung dengan Chicago Pro-Am Leagues, Rookie of the Year IBL 2003, terakhir memperkuat timnas SEA Games di Vietnam.

Saya terkesan Wuysang. Three point shootnya nyaris tidak pernah gagal. Passingnya jauh dari ngawur, padahal waktu lagi dribbling matanya seperti tidak sedang melihat rekan setimnya, tau-tau lemparannya pas aja. Tapi yang bikin saya tersentuh, di akhir interview Wuysang bilang begini,”Saya suka main basket, di segala cuaca, walaupun saya prefer cuaca Malang daripada Jakarta.” Ekpresinya dingin. Wuysang jarang ketawa. “Saya ingin suatu hari Indonesia dikenal karena basketnya.”

Wuysang sudah selangkah lagi ke NBA. Dia pernah selapangan dengan Kueth Duany (Syracuse NCAA Champion 2003) dan Jarred Jeffries (Washington Wizard). Dengan catatan prestasinya Wuysang bisa saja menasibkan diri seperti Yao Ming. Tapi sejak 2003 pilihan hidupnya adalah kembali ke Indonesia, main basket. Bergabung dengan Panasia, setahun kemudian menerima pinangan ASPAC. Kalau Agus Mauro – presiden IBL bilang “Sudah waktunya Indonesia punya basket pro.” Wuysang sepertinya menyimpan cita-cita yang sama. Mungkin karena dia selalu bermain dengan hati. Mungkin hatinya tertinggal di tanah air ini. Jadi dia kembali untuk menyatukannya lagi dengan bagian tubuhnya yang lain, untuk kemudian berdiri dengan utuh di tempat yang di(me)rindukannya. Sekalipun Wuysang tidak bisa berbahasa Indonesia, saya merasa dia menuntun saya memahami makna nasionalisme.

Besok, Indonesia 59 tahun.

1 comment:

inside my head said...

i really love to see Wuysang.
he is s.o that i called, `cowok banget`..
hahahahha
hope u understand this term.


nice to have such talented man like u in indonesia